Seni Menggoreng Lukisan
Putu Fajar ArcanaSelembar
kanvas dengan pulasan cat di atasnya bisa berharga sampai miliaran
rupiah. Dalam satu lelang di balai lelang Sotheby’s di Singapura, harga
lukisan karya Hendra Gunawan mencapai Rp 16,9 miliar. Fantastis!
Pekan lalu, balai lelang Borobudur yang berbasis di Indonesia berhasil melelang karya Theo Meier yang hanya seukuran sekitar 1 meter dengan harga sampai Rp 3 miliar. Karya-karya old master, seperti Affandi, pun kini terkerek lagi ke angka sampai Rp 4 miliar. Bahkan, hebatnya, karya-karya kontemporer dari seniman muda, seperti I Nyoman Masriadi, sebagaimana termuat dalam dokumen Art Market Trends 2009, mencapai harga Rp 7,4 miliar! Pada 2008, total karya seniman ini yang beredar di balai lelang internasional sebanyak 67 buah dengan nilai Rp 71 miliar. Lagi-lagi kita terbengong-bengong mendengar harga itu.
Dari mana semua itu bermula? Chairman Srisasanti Syndicate St Eddy Prakoso yang mengikuti dua lelang di Singapura, pekan lalu, menyaksikan pasar lukisan sudah mulai terkoreksi. ”Pasar kembali menghargai karya modern art dari para old master, seperti Hendra Gunawan, Affandi, Theo Meier, Srihadi, atau Arie Smit. Kolektor makin tahu mana karya yang berkualitas,” kata Eddy.
Harga sebuah lukisan, menurut dia, tergantung dari dua hal: nilai simbolis dan nilai ekonomi. Keduanya pada titik tertentu akan bertemu dan beriringan menciptakan harga yang pantas untuk sebuah lukisan. Ketua Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia Edwin Rahardjo menyebut nilai sebuah karya terpulang pada reputasi atau portofolio dan kualitas estetik karya seorang seniman. Reputasi dan kualitas itu harus dibangun seniman melalui ajang pameran, baik di dalam maupun luar negeri. ”Dengan begitu, harga akan terbangun secara alami,” katanya.
”Kolekdol”
Pernyataan itu berkait dengan kepanikan investor, oleh Eddy disebut panic buyers, yang membeli karya berdasarkan rumor semata. Itulah peristiwa yang mengguncang seni rupa Tanah Air periode 2006-2008. Para investor secara membabi buta memborong karya para calon seniman, yang notabene belum lulus kuliah. Ada sebagian mahasiswa yang kemudian tiba-tiba punya rumah dan mobil. Mereka kemudian diikat kontrak eksklusif oleh para pengelola galeri. Harapannya, tentu saja keuntungan pada saatnya akan dipanen. Caranya, dengan bermain di balai lelang. Para kolekdol (pembeli yang membeli untuk didol—jual lagi), menurut Kuss Indarto, kurator Galeri Nasional Jakarta, kemudian menggoreng harga di galeri atau balai lelang. ”Bahkan, jumlah kolekdol itu mungkin sampai 75 persen dari jumlah pembeli seni rupa kita,” kata Kuss.
Mereka, misalnya, memasukkan karya ke balai lelang untuk kemudian ditawar lagi oleh sindikatnya dengan harga yang jauh lebih mahal. Bisa juga lewat pameran tunggal di galeri dan kemudian karya-karya itu dibeli habis lagi oleh sindikatnya. ”Cara inilah yang menimbulkan kepanikan pasar. Padahal, harga di balai lelang tidak bisa jadi pedoman karena di situ karya seni hanya dilihat dari sisi ekonomi semata,” kata Eddy.
Cara-cara itulah yang, antara lain, disebut goreng-menggoreng karya.
Menurut Edwin, ”geger” seni rupa saat booming 2006-2008 tidak dibangun secara alami berdasarkan kualitas dan portofolio seniman. Harga begitu membubung, saat sebuah lukisan karya Putu Sutawijaya buatan tahun 2002 terjual Rp 500 juta pada 2006 di balai lelang Sotheby’s, Singapura. Harga itu naik tujuh kali lipat dari harga estimasi. ”Saya tidak kaget dengan harga itu, tetapi yang mengagetkan esok paginya ada yang ketok pintu minta beli lukisan saya,” kata Putu Sutawijaya.
Karya-karya Masriadi yang meroket di pasar lelang bukan lukisan-lukisan yang baru, melainkan karya-karya yang sudah lama beredar di tangan para kolektor. ”Ketika pertama kali tahu karya lama saya dilelang dengan harga tinggi saya terganggu, terpikir terus. Seiring waktu, saya bisa mengatasi keterkejutan saya,” tutur Masriadi.
Pasar
Menurut dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB), Aminudin TH Siregar, galaunya pasar seni rupa Indonesia memang bermula dari melonjaknya harga karya pelukis kontemporer, seperti Masriadi, Sutawijaya, dan Agus Suwage, yang lantas mengerek pula harga karya perupa yang tergabung dalam kelompok Jendela, seperti Rudi Mantovani dan Handiwirman. Kenyataan ini, menurut Kuss, diikuti naiknya harga para perupa yang lebih muda, bahkan para mahasiswa yang belum menyelesaikan studi.
Sebagai dosen, Aminudin merasa perlu membekali para mahasiswa dengan pengetahuan tentang industri seni. Oleh sebab itu, pasca-booming 2006-2008, FSRD ITB mengajarkan mata kuliah Seni dan Pasar. Di situ diajarkan unsur-unsur yang bisa dijadikan dasar untuk menetapkan harga awal sebuah lukisan. ”Ini untuk menjawab kebutuhan internal karena banyak lulusan kita bingung menentukan harga. Ketika pameran nanti malah diijon,” kata Aminudin.
Menurut Eddy, wilayah harga sebenarnya bukan wilayah para seniman, apalagi kampus. Seniman harus selalu hidup dalam dunia idealisme. ”Kalau kuliah itu dimaksudkan agar para seniman juga melek pasar itu benar, tetapi kalau sudah menyangkut cara-cara memberi harga sebuah lukisan, rasanya kurang tepat,” katanya.
Pemilik Galeri Biasa, Nana Tedja, menempuh cara dengan membina para perupa muda di galerinya. Ia memasok segala kebutuhan material bekerja para seniman, tanpa ikatan apa pun. Dulu, semasa booming, ia membina 18 perupa yang masih berstatus mahasiswa. ”Setiap pameran selalu habis, bahkan pernah satu karya laku sampai Rp 1 miliar,” kata Nana. Kini, ia hanya membina lima perupa muda yang benar-benar berbakat dalam hubungan kerja yang longgar.
Harga terkoreksi
Ketika masa booming berlalu, hampir semua pelaku bisnis seni rupa sepakat bahwa yang terjadi sekarang sesungguhnya bukan krisis. ”Harga-harga terkoreksi saja,” kata Eddy. Koreksi harga itu, walau sebenarnya juga imbas dari krisis global, membawa dampak positif. Ukuran yang dipakai untuk menentukan harga lukisan seperti kembali kepada kualitas dan portofolio para seniman.
Pembantu Rektor I Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta M Agus Burhan, yang juga kurator Galeri Nasional Jakarta, melihat fenomena ini bagus untuk mengembalikan harga lukisan pada batas sesungguhnya. Kalau dulu harga lukisan seorang pelukis bisa Rp 500 juta, kini hanya terjual Rp 100 juta. Mungkin Rp 100 juta itulah harga yang seharusnya dicapai.
Lesunya pasar seni rupa kontemporer justru menjadi kabar baik bagi karya-karya yang digolongkan modern art. Pada pembukaan pameran di Malaysia Expo, Kuala Lumpur, Jumat (28/10), lukisan karya Jeihan Sukmantoro menjadi satu-satunya karya yang terjual. ”Syukur masih dengan harga yang semestinya,” ujar Atasi Amin, anak Jeihan, mengabarkan berita itu dari Bandung.
Saat-saat booming lukisan sudah tidak dipandang lagi sebagai hasil olah estetik yang penuh idealisme. Lukisan hanya diperlakukan sebagai ”surat berharga”, yang nilainya sepenuhnya ditentukan pasang-surutnya pasar. Bahkan, sangat bergantung pada situasi ekonomi secara global. Ketika Lehman Brothers hancur, surut pula pasar seni rupa kontemporer kita di Tanah Air, seperti sekarang....
(Budi Suwarna/Aryo Wisanggeni/Sarie Febriane)
Pekan lalu, balai lelang Borobudur yang berbasis di Indonesia berhasil melelang karya Theo Meier yang hanya seukuran sekitar 1 meter dengan harga sampai Rp 3 miliar. Karya-karya old master, seperti Affandi, pun kini terkerek lagi ke angka sampai Rp 4 miliar. Bahkan, hebatnya, karya-karya kontemporer dari seniman muda, seperti I Nyoman Masriadi, sebagaimana termuat dalam dokumen Art Market Trends 2009, mencapai harga Rp 7,4 miliar! Pada 2008, total karya seniman ini yang beredar di balai lelang internasional sebanyak 67 buah dengan nilai Rp 71 miliar. Lagi-lagi kita terbengong-bengong mendengar harga itu.
Dari mana semua itu bermula? Chairman Srisasanti Syndicate St Eddy Prakoso yang mengikuti dua lelang di Singapura, pekan lalu, menyaksikan pasar lukisan sudah mulai terkoreksi. ”Pasar kembali menghargai karya modern art dari para old master, seperti Hendra Gunawan, Affandi, Theo Meier, Srihadi, atau Arie Smit. Kolektor makin tahu mana karya yang berkualitas,” kata Eddy.
Harga sebuah lukisan, menurut dia, tergantung dari dua hal: nilai simbolis dan nilai ekonomi. Keduanya pada titik tertentu akan bertemu dan beriringan menciptakan harga yang pantas untuk sebuah lukisan. Ketua Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia Edwin Rahardjo menyebut nilai sebuah karya terpulang pada reputasi atau portofolio dan kualitas estetik karya seorang seniman. Reputasi dan kualitas itu harus dibangun seniman melalui ajang pameran, baik di dalam maupun luar negeri. ”Dengan begitu, harga akan terbangun secara alami,” katanya.
”Kolekdol”
Pernyataan itu berkait dengan kepanikan investor, oleh Eddy disebut panic buyers, yang membeli karya berdasarkan rumor semata. Itulah peristiwa yang mengguncang seni rupa Tanah Air periode 2006-2008. Para investor secara membabi buta memborong karya para calon seniman, yang notabene belum lulus kuliah. Ada sebagian mahasiswa yang kemudian tiba-tiba punya rumah dan mobil. Mereka kemudian diikat kontrak eksklusif oleh para pengelola galeri. Harapannya, tentu saja keuntungan pada saatnya akan dipanen. Caranya, dengan bermain di balai lelang. Para kolekdol (pembeli yang membeli untuk didol—jual lagi), menurut Kuss Indarto, kurator Galeri Nasional Jakarta, kemudian menggoreng harga di galeri atau balai lelang. ”Bahkan, jumlah kolekdol itu mungkin sampai 75 persen dari jumlah pembeli seni rupa kita,” kata Kuss.
Mereka, misalnya, memasukkan karya ke balai lelang untuk kemudian ditawar lagi oleh sindikatnya dengan harga yang jauh lebih mahal. Bisa juga lewat pameran tunggal di galeri dan kemudian karya-karya itu dibeli habis lagi oleh sindikatnya. ”Cara inilah yang menimbulkan kepanikan pasar. Padahal, harga di balai lelang tidak bisa jadi pedoman karena di situ karya seni hanya dilihat dari sisi ekonomi semata,” kata Eddy.
Cara-cara itulah yang, antara lain, disebut goreng-menggoreng karya.
Menurut Edwin, ”geger” seni rupa saat booming 2006-2008 tidak dibangun secara alami berdasarkan kualitas dan portofolio seniman. Harga begitu membubung, saat sebuah lukisan karya Putu Sutawijaya buatan tahun 2002 terjual Rp 500 juta pada 2006 di balai lelang Sotheby’s, Singapura. Harga itu naik tujuh kali lipat dari harga estimasi. ”Saya tidak kaget dengan harga itu, tetapi yang mengagetkan esok paginya ada yang ketok pintu minta beli lukisan saya,” kata Putu Sutawijaya.
Karya-karya Masriadi yang meroket di pasar lelang bukan lukisan-lukisan yang baru, melainkan karya-karya yang sudah lama beredar di tangan para kolektor. ”Ketika pertama kali tahu karya lama saya dilelang dengan harga tinggi saya terganggu, terpikir terus. Seiring waktu, saya bisa mengatasi keterkejutan saya,” tutur Masriadi.
Pasar
Menurut dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB), Aminudin TH Siregar, galaunya pasar seni rupa Indonesia memang bermula dari melonjaknya harga karya pelukis kontemporer, seperti Masriadi, Sutawijaya, dan Agus Suwage, yang lantas mengerek pula harga karya perupa yang tergabung dalam kelompok Jendela, seperti Rudi Mantovani dan Handiwirman. Kenyataan ini, menurut Kuss, diikuti naiknya harga para perupa yang lebih muda, bahkan para mahasiswa yang belum menyelesaikan studi.
Sebagai dosen, Aminudin merasa perlu membekali para mahasiswa dengan pengetahuan tentang industri seni. Oleh sebab itu, pasca-booming 2006-2008, FSRD ITB mengajarkan mata kuliah Seni dan Pasar. Di situ diajarkan unsur-unsur yang bisa dijadikan dasar untuk menetapkan harga awal sebuah lukisan. ”Ini untuk menjawab kebutuhan internal karena banyak lulusan kita bingung menentukan harga. Ketika pameran nanti malah diijon,” kata Aminudin.
Menurut Eddy, wilayah harga sebenarnya bukan wilayah para seniman, apalagi kampus. Seniman harus selalu hidup dalam dunia idealisme. ”Kalau kuliah itu dimaksudkan agar para seniman juga melek pasar itu benar, tetapi kalau sudah menyangkut cara-cara memberi harga sebuah lukisan, rasanya kurang tepat,” katanya.
Pemilik Galeri Biasa, Nana Tedja, menempuh cara dengan membina para perupa muda di galerinya. Ia memasok segala kebutuhan material bekerja para seniman, tanpa ikatan apa pun. Dulu, semasa booming, ia membina 18 perupa yang masih berstatus mahasiswa. ”Setiap pameran selalu habis, bahkan pernah satu karya laku sampai Rp 1 miliar,” kata Nana. Kini, ia hanya membina lima perupa muda yang benar-benar berbakat dalam hubungan kerja yang longgar.
Harga terkoreksi
Ketika masa booming berlalu, hampir semua pelaku bisnis seni rupa sepakat bahwa yang terjadi sekarang sesungguhnya bukan krisis. ”Harga-harga terkoreksi saja,” kata Eddy. Koreksi harga itu, walau sebenarnya juga imbas dari krisis global, membawa dampak positif. Ukuran yang dipakai untuk menentukan harga lukisan seperti kembali kepada kualitas dan portofolio para seniman.
Pembantu Rektor I Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta M Agus Burhan, yang juga kurator Galeri Nasional Jakarta, melihat fenomena ini bagus untuk mengembalikan harga lukisan pada batas sesungguhnya. Kalau dulu harga lukisan seorang pelukis bisa Rp 500 juta, kini hanya terjual Rp 100 juta. Mungkin Rp 100 juta itulah harga yang seharusnya dicapai.
Lesunya pasar seni rupa kontemporer justru menjadi kabar baik bagi karya-karya yang digolongkan modern art. Pada pembukaan pameran di Malaysia Expo, Kuala Lumpur, Jumat (28/10), lukisan karya Jeihan Sukmantoro menjadi satu-satunya karya yang terjual. ”Syukur masih dengan harga yang semestinya,” ujar Atasi Amin, anak Jeihan, mengabarkan berita itu dari Bandung.
Saat-saat booming lukisan sudah tidak dipandang lagi sebagai hasil olah estetik yang penuh idealisme. Lukisan hanya diperlakukan sebagai ”surat berharga”, yang nilainya sepenuhnya ditentukan pasang-surutnya pasar. Bahkan, sangat bergantung pada situasi ekonomi secara global. Ketika Lehman Brothers hancur, surut pula pasar seni rupa kontemporer kita di Tanah Air, seperti sekarang....
(Budi Suwarna/Aryo Wisanggeni/Sarie Febriane)
Klo mnurut pndpat sy, menilai ato mnhargai sbuah krya seni khususnya lukisan di sini, sngat tidak baik bhkan sngat mnyakitkan skli klo semuanya brgantung pd psar. Sy lbih spndapat pada pak Eddy td.
BalasHapus